Jumat, 06 Februari 2015

GERAKAN KIRI (KOMUNIS) DI ERA REFORMASI

Oleh Drs. ARUKAT DJASWADI
Disampaikan pada :
Seminar Nasional
Neo Sosialisme : Jejak Kebangkitan ldeologi Romantis Dalam Reformasi Indonesia
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta
23 Desember 2014

I.         Pembukaan
Masalah komunis tidak hanya sekedar telah runtuhnya Negara Uni Soviet sebagai negara dari mana komunis berasal dan telah berakhirnya era perang dingin. Selanjutnya muncul era gIobalisasi dunia, tetapi bagi bangsa Indonesia lebih dari pada itu. Komunisme telah mencatat lembaran hitam dalam perjalanan sejarah bangsa dan Negara Indonesia dan nyata-nyata telah terbukti beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan pemerintah Republik Indonesia. Keadaan tersebut telah memaksa rakyat Indonesia mendesak dibubarkannya PKI dengan diperkuat dengan TAP MPRS XXV/MPRS/1966 yang sampai ini masih dipertahankan melalui TAP MPR NO II/MPR/2003.
Pemberontakan PKI tahun 1948 menelan banyak korban, lubang-lubang pembantaian tersebar di wilayah Madiun dan Magetan diperuntukan para Kyai, Santri„ Pegawai Pamong Praja, Polisi, dan rakyat yang tidak berdosa lainnya. Di Banyuwangi juga terjadi pembantaian terhadap 62 Pemuda Islam (Anshor) di Desa Gimetuk, Kec. Cluring. (18 Oktober 1965).
Kasus saling membantai tahun 1965 dipicu oleh sikap dan retorika PKI terhadap lawan-lawan politiknya dengan melakukan aksi sepihak menduduki tanah-tanah pesantren dan tanah milik negara, penghinaan terhadap Umat Islam melalui LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat)/PKI yang selalu mengangkat cerita dalam pementasan ludruk MATINE GUSTI ALLAH, KAWINE MALAIKAT tuntutan PKI membentuk angkatan ke-5 dengan mempersenjatai buruh dan tani serta puncaknya pembunuhan terhadap 6 (Enam) Jenderal TNI di Lubang Buaya Jakarta, yang membuat kemarahan rakyat. Kesemuanya itu merupakan gladi resik yang puncak adegannya pemberontakan G.30.S/PKI yang dapat dihancurkan oleh TNI dan masyarakat yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edi Wibowo(Komandan RPKAD).
Hancurnya PKI memang tidak terlepas dari peranan Jenderal Soeharto, namun pada masa-masa kekuasaan Jenderal Soeharto itu pula PKI membangun kembali kekuatannya sampai runtuhnya kekuasaan Orde Baru dan lahirnya pemerintah reformasi. Reformasi mengedepankan kebebasan dan keterbukaan telah berjalan seolah-olah tanpa batas, sehingga membuka peluang untuk kembalinya (Bangkitnya) komunis di Indonesia antara lain ditandai dengan upaya-upaya eks Tapol/Napol PKI memposisikan dirinya sebagai korban, sedangkan dalam kenyataannya PKI adalah pelaku kudeta yang gagal merebut kekuasaan negara untuk menggantikan Pancasila sebagai dasar negara dengan faham marxisme-komunisme.
PKI dalam posisi salah dan kalah, wajar apablia mereka mendapatkan sangsi dengan dibubarkannya Partai dan fahamnya sebagai bentuk pampasan perang yang harus mereka bayar karena dialah yang memulai peperangan. Berbeda kalau seandainya mereka dalam posisi benar dan menang pastilah lawan-lawan politiknya dihabisi seperti di negara Kamboja, Kuba, Korea Utara, Vietnam, Venezuela, dll.
Didasari oleh filosofi Sudisman ketika diadili melalui Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmiluh) dalam pledoinya "Jika saya mati sudah tentu bukannya PKI mati bersama kematian saya, sama sekali tidak. Walaupun PKI sekarang sudah rusak berkeping-keping saya tetap yakin, ini hanya bersifat sementara dan dalam proses sejarah, nanti PKI akan tumbuh kembali, sebab PKI adalah anak zaman yang dilahirkan oleh zaman". Semangat tidak kenal menyerah memperjuangkan ideologi marxisme-komunisme inilah melahirkan PKI wajah baru dengan topeng demokrasi, hak asasi, Iingkungan hidup, tidak menentang agama dan lain-lain, melalui organisasi yang mengesankan sebagai korban yakni : PAKORBA (Paguyuban Korban Orde Baru), LPKP 65 (Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65), LPR KROB (Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru).

II.        Upaya Pembelokan Sejarah Melalui Metamorphosis.
Partai Komunis Indonesia telah dua kali melakukan perebutan kekuasaan melalui pemberontakan secara keji dan kejam. Jumlah korban tidak terhingga baik sipil maupun militer namun usaha mereka telah gagal karena perlawanan TNI dan masyarakat. Untuk bisa hidup kembali PKI merubah strategi dari cara-cara revolusioner ala Soviet dan RRC menjadi cara-cara ekstra parlementer dengan memposisikan dirinya sebagai korban, pemberontakan tahun 1948 di anggap provokasi Hatta, sementara tahun 1965 dituduhkan masalah intern TNI AD. Ini merupakan pembelokan sejarah dan kebohongan yang tidak dapat di maafkan. Kalau tahun 1948 provokasi Hatta tentunya yang menjadi korban adalah orang-orang PKI, namun kenyataan sebaliknya yang dibantai adalah warga sipil, aparat pemerintah, aparan kepolisian, dan orang-orang beragama khususnya umat Islam. Kalau tahun 1965 adalah masalah intern TNI AD, siapa yang mau membubarkan kabinet gotong royong pada tanggal 1 Oktober 1965 ? Siapa yang membunuh para Jenderal di Lubang Buaya pada tanggal yang sama ? Fakta menunjukkan di belakang peristiwa tersebut tokoh-tokoh PKI dan Perwira yang dibina oleh Biro Khusus PKI tidakkah tahun 1948 dipimpin oleh Muso dan Syarifuddin, sedangkan tahun 1965 dipimpin oleh DN Aidit, Nyoto, Nyono, yang kesemuanya pada tanggal 30 September 1965 ada di Lapangan Udara Halim Perdanakusuma dan Lubang Buaya. DN Aidit sendiri pada tanggal 1 Oktober 1965 melarikan diri ke Yogyakarta menggunakan pesawat AURI. Nyata dengan jelas dan terang benderang bahwa PKI ada di belakang peristiwa tersebut masalahnya mereka kalah, kalau seandainya menang pastilah Indonesia seperti Korea Utara, Vietnam, Kamboja, Cuba, RRC, dll. Karena ambisi untuk hidup kembali, PKI berusaha dengan segala cara angkat senjata tidak mungkin, maka ditempuhlah cara-cara non militer. Teori revolusi di tinggalkan, mereka menempuh jalur politik, jalur hukum, jalur budaya, dan pendidikan, jalur KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).

III.       Gerakan Neo PKI
Bidang Politik.
Antara lain eks PKI dengan menunggangi fraksi PDI Perjuangan saat Sidang Umum MPR tahun 2003 menuntut agar Tap MPRS No. XXV/1966 dicabut. Namun mayoritas anggota DPR-MPR menolak sehingga Tap MPRS tersebut masih berlaku/eksis sampai sekarang.
Bidang Hukum.
Antara lain dengan melakukan gugatan class action kepada 4 (Empat) mantan Presiden RI dan Presiden SBY (Agustus 2005) di PN Jakarta Pusat dengan tuntutan kepada negara agar memberikan kompensasi kepada orang-orang PKI yang menganggap dirinya sebagai korban dan bukan pelaku kudeta sebesar 950 juta sampai 2.5 Milyard dengan klaim jumlah korban sebanyak 20 juta jiwa. Tuntutan tersebut ditolak oleh PN Jakarta Pusat. 
Bidang hukum yang berhasil secara signifikan adalah Judicial Review (JR) pasal 60 huruf g UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu. Pasal tersebut berhasil dibatalkan sehingga orang-orang PKI bebas masuk menjadi anggota DPR - MPR dan lain-lain.
Bidang Non Hukum / Non Judicial.      
Gagal dalam jalur hukum, mereka menempuh jalur non hukum dengan mempersiapkan draft UU KKR oleh Ifdal Kasim (LSM ELSAM) yang dikenal sebagai anggota diskusi Marxis di UGM. Draft UU tersebut disampaikan kepada Presiden dan di rekomendasikan ke DPR RI yang kemudian disahkan menjadi UU No. 27 tahun 2004. Melalui UU KKR tersebut eks PKI berharap bisa mendapatkan pintu masuk untuk hidup kembali setelah mereka gagal menempuh jalur hukum. Justru yang didapatkan sebaliknya UU KKR tersebut dibatalkan oleh MK No. 011-017/PUU-1/2006 tanggal 12 Oktober 2006 dan 13 Nopember 2006.
Judicial Review ke Mahkamah Agung.
LPKP-65 pimpinan Bedjo Untung pecatan RPKAD mengajukan JR ke Mahkamah Agung agar Keppres 28 tahun 1975 tentang golongan C PKI di hapus dan dengan demikian eks PKI mendapatkan kompensasi dan rehabilitasi, namun sampai akhir jabatan Presiden SBY tidak merespon keputusan MA tersebut.
Permintaan Maaf.
Wantimpres bidang hukum, Albert Hasibuan, S.H menyatakan bahwa Presiden SBY akan meminta maaf kepada PKI pada tanggal 16 Agustus 2012, namun setelah dilakukan dialog dengan CICS pada 7 Juni 2012 di Hotel Bidakara Surabaya hampir semua peserta dialog meminta agar Presiden SBY tidak perlu meminta maaf pada pemberontak PKI. Kalau dipaksakan rakyat akan melawan, bagaimana mungkin negara harus meminta maaf kepada pemberontak ? Tentu pemberontak yang lain akan menuntut hal yang sama. LPKP-65 pimpinan Bedjo Untung juga mendesak kepada Presiden Jokowi agar pada 10 Desember 2014 saat hari HAM Internasional menyatakan permintaan maaf kepada PKI, dalam kenyataannya tanggal tersebut Presiden keluar negeri dan tidak menyatakan minta maaf kepada pemberontak sebagaimana 6 Presiden sebelumnya. Sementara Presiden Gus Dur sebatas menyampaikan wacana sehingga tidak dapat dijadikan landasan hukum.
Gagal jalur hukum dan non hukum, mereka memanfaatkan Komnas HAM sebagai Kuda Troya dengan menempatkan Ifdal Kasim sebagai Ketua Komnas HAM sampai sekarang ini. Ifdal Kasim setelah terpilih sebagai ketua langsung membentuk Tim Ad Hoc '65 dengan maksud memberikan kesempatan kepada eks PKI untuk melakukan gugatan atas peristiwa 1965 yang katanya mereka sebagai korban. Terbentuknya Tim Ad Hoc tersebut memicu perlawanan dari berbagai LSM anti komunis yang menuntut agar Tim Ad Hoc 65 dibubarkan karena tendensius untuk kepentingan eks PKI dalam rangka kebangkitannya. Karena terus menerus mendapat perlawanan Komnas HAM tiarap untuk melanjutkan pembentukan Tim Ad Hoc tersebut, namun tidak diduga pada Maret 2012 Komnas HAM mengeluarkan pernyataan bahwa yang bertanggung jawab terhadap peristiwa 1965 adalah Jenderal Soeharto selaku Pangkostrad.
Pernyataan tersebut menimbulkan kontraversi karena nantinya pihak yang dituntut telah meninggal dunia sehingga negara lah yang harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terkait dengan peristiwa 1965 terutama yang berhubungan dengan kompensasi dan rehabilitasi.
Melalui Pendidikan.  Generasi muda bisa memahami secara benar dan proporsional atas berbagai pemberontakan PKI baik tahun 1948 dan 1965 sehingga melalui pendidikan inilah penanaman sejarah dilakukan secara formal. Eks PKI menyadari betul bahwa stigma PKI sebagai pemberontak sangat merugikan mereka sehingga secara diam-diam mereka melakukan infiltrasi terhadap kurikulum berbasis kompetensi tahun 2004 tanpa menyebutkan PKI sebagai pemberontak tahun 1948 dan 1965. Dengan cepat kelompok masyarakat anti komunis melakukan pendekatan kepada Mendiknas agar kurikulum sejarah yang terkait dengan pemberontakan PKI dimasukkan kembali dalam kurikulum 2004. Bersyukur DR. Alwie Shihab segera mengambil keputusan dengan meluruskan kembali kurikulum sejarah melalui surat Mendiknas No. 7 tahun 2005.

IV.       Tuntutan LPR-KROB.
Lembaga ini juga sebagai wadah eks PKI dipimpin oleh Semaun Utomo. Tuntutan mereka hampir sama dengan tuntutan Tapol/Napol yang lain, namun lembaga ini lebih specifik advokasi terdaftar dalam akte notaries H. Rizal Sudarmadi, S.H tanggal 21 Oktober 2002 No. 51, diantaranya mengajukan tuntutan kepada Presiden Indonesia alalui suratnya tanggal 17 Desember 20114, Nomor 47/sek/DPP.P/X.11/2004, adapun isi tuntutan adalah :
a.      Meminta kepada Presiden agar memberikan rehabilitasi umum kepada eks PKI. Tuntutan tersebut didasarkan atas :
1.     Fatwa Ketua MA tanggal 12 Juni 2003 No. KMA/403/VI/2003 yang menyatakan agar memberikan penyelesaian dan kepastian hukum yang dapat memulihkan status dan harkat martabat sebagai warga negara yang sama.
2.    KOMNAS HAM tanggal 23 Agustus 2003, No 147/TUA/VIII/2003, tentang Rehabilitasi Korban G 30S PKI/'65, yang menyatakan harus segera menghapus seluruh peraturan yang diskriminatif.
3.     Surat DPR RI tanggal 20 Juli 2003 No. K.S.02/37.47/DPRRI yang memberikan pertimbangan politik untuk rehabilitasi.
b.   Memulihkan dan mengembalikan harkat, martabat dan kehormatan pemohon sebagai WNI.
c.      Menyatakan eks PKI tidak salah, mereka adalah korban dan hanya WNI yang dikorbankan dalam peristiwa G 30 S PKI /1965.

V.        Konspirasi Pemakaman Letkol Heru Atmojo.
Heru Admojo selaku Perwira TNI AU ketika masih aktif pangkat terakhir adalah Letkol Udara. Mereka terlibat langsung pemberontakan G.30.S/PKI, sebagaimana pengumuman di RRI hari Jumat tanggal 1 Oktober 1965 jam 14.00 WIB oleh Letkol Untung. la diposisikan sebagai Wakil Ketua Dewan Revolusi, sedangkan ketuanya adalah Letkol Untung dari Cakrabirawa yang didampingi oleh Bridjen Saparjo.
Nyata dan jelas bahwa Dewan Revolusi melakukan makar terhadap Pemerintahan dengan membubarkan Kabinet gotong royong yang diganti dengan Dewan Revolusi serta menggantikan Pancasila sebagai dasar negara dengan faham komunisme.
Pemberontakan tersebut telah menelan korban 6 Jenderal TNI yang tidak berdosa sebagai ulah para pemberontak PKI dan oknum Perwira TNI yang sejak lama dibina oleh Biro khusus PKI diantaranya : Letkol Untung, Brigjen Saparjo, Letkol Udara Heru Admojo.
Pemberontakan PKI 1 Oktober '65 yang disebut dengan G.30.S/PKI gagal total karena dapat dihancurkan oleh rakyat dan akibatnya mereka yang terlibat harus mempertanggungjawabkan secara hukum melalui peradilan militer yang dinamakan Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILUB) .
Letkol Untung, Brigjen Saparjo terbukti secara meyakinkan melakukan Kudeta (Makar) terhadap pemerintahan yang sah, oleh MAHMILUB dia dijatuhl hukuman mati. Berbeda dengan Letkol Udara, Heru Admojo oleh MAHMILUB ia diganjar hanya dipecat dari TNI dan dihukum seumur hidup namun yang bersangkutan dapat premisi menjadi 15 tahun penjara. Dengan dipecatnya mereka dari TNI semua gelar atau bintang yang disandang otomatis gugur dengan sendirinya.
Selepas dari tahanan Heru Admojo bergabung dengan keluarganya dan juga bergabung dengan sesama eks PKI dalam wadah organisasi Paguyuban Korban Orde Baru (PAKORBA), tanggal 29 Januari 2011 mereka meninggal dan dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta. Kasus tersebut diatas memunculkan berbagai tanggapan yang kontraversi, ada yang berpendapat layak yang bersangkutan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan karena menyandang bintang Gerilya, namun dipihak lain terutama Yayasan Pusat Kajian Komunitas Indonesia pimpinan Drs. Arukat Djaswadi berbeda pendapat, dimakamkannya Heru Admojo di TMP Kalibata merupakan kekeliruan besar, mereka tidak layak disebut Pahlawan dan tidak layak pula dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
Yayasan Pusat Kajian Komunitas Indonesia menulis surat kepada Panglima TNI Laksamana Agus Hartono pada tanggal 24 Maret 2011, dengan nomor 011- B/CICS/III/2011 yang maksudnya memohon kepada Panglima untuk meluruskan dengan memindahkan jenazah Heru Admojo ke Taman Pemakaman Umum.
Apabila pemerintah tidak memperhatikan masyarakat akan memberikan stighma kalau pimpinan TNI sekarang tidak lagi menghormati jasa-jasa para Pahlawan Revolusi yang telah gugur membela bangsa dan negara. Untuk menghindari hal tersebut perlu pelurusan sejarah diantaranya dengan menempatkan secara proporsional, siapa Pahlawan dan siapa pengkhianat Negara.
Atas dasar surat Yayasan Pusat Kajian Komunitas Indonesia, Markas besar TNI memberikan jawaban pada tanggal 8 April 2011 dengan nomor B/322/IV/2011/SPRES. Isi surat tersebut adalah berdasarkan surat Ketua Yayasan Pusat Kajian Komunitas Indonesia nomor 011-B/CICS/III/2011 tanggal 24 Maret 2011 dengan ini disampaikan bahwa kerangka jenazah Almarhum Bapak Heru Admojo pada tanggal 26 Maret 2011 atas persetujuan pihak keluarga, telah dipindahkan dari Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata - Jakarta ke TPU Jember - Jawa Timur. Surat ditandatangani oleh Aspers Panglima TNI, S.IP. Marsekal Muda TNI . 
Dari pengamatan dilapangan memang benar kerangka Heru Admojo sudah dibongkar dan dipindahkan, namun bukan dimakamkan di Jember tetapi di Taman Makam Umum Segok - Bangil bersebelahan dengan makam Ibunya, Supatmi. Sejarahwan LIPI Asvi Warman Adam menilai pembongkaran makam dengan alasan keterlibatan G.30 S/PKI merupakan kara yang menyakitkan "Jelas menyakitkan jika seorang dikeluarkan padahal dia pemegang bintang Gerilya" demikian Ia berbincang dengan VIV Anews selasa 25 April 2011 . Menyikapi pembongkaran kerangka Heru Admojo dari TMP Kalibata sah-sah saja seorang berbeda pendapat, namun apabila seseorang sudah dipecat dari keanggotaan TNI lebih-lebih dengan hukuman 15 tahun pastilah semua atribut gugur dengan sendirinya termasuk bintang Gerilyanya. Sebab kalau tidak akan terjadi kebingungan siapakah penjahat, penghianat Bangsa dan Negara, dan siapakah Pahlawan yang semestinya harus dimakamkan di TMP atau bukan. Nampaknya ada skenario lain untuk kepentingan politik dengan dimakamkannya Heru Admojo di Taman Makam Pahlawan, mereka nyata-nyata pemberontak PKI, kalaulah ia tetap dipertahankan di TMP akan berdampak politis, Heru Admojo akhirnya di akui sebagai Pahlawan bukan sebaliknya. Jelas ini sebuah skenario yang sudah dipersiapkan oleh eks PKI dan sekutu-sekutunya untuk memutihkan sejarah hitam PKI.

VI.       Penutup.
Atas dasar kajian tersebut diatas, diharapkan :
1.         Pemerintah agar tetap mewujudkan keutuhan bangsa dan kerukunan nasional dalam rangka konsisten melaksanakan Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, TAP MPRS XXV/MPRS/1966 dan UU No. 27 tahun 1999 tentang perubahan KUHP yang berhubungan dengan kejahatan keamanan negara pasal 107 a.
2.         Mendesak kepada Pemerintah Indonesia yakni Presiden Joko Widodo agar berhati-hati dalam mengambil kebijakan terutama yang dapat menimbulkan konflik baru bersumber dari perbedaan ideologi terutama komimisme dan Pancasila dengan tidak meminta maaf PKI bahkan sebaliknya PKI harus minta maaf kepada bangsa Indonesia, karena telah dua kali melakukan kejahatan terhadap bangsa dan negara tahun 1948 dan 1965.

3.         Mendesak kepada Pemerintah agar tidak membuka celah sedikitpun bagi tumbuh kembangnya PKI dan faham komunis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar