Oleh Drs. ARUKAT DJASWADI
Disampaikan pada :
Seminar Nasional
Neo Sosialisme : Jejak Kebangkitan ldeologi Romantis
Dalam Reformasi Indonesia
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta
23 Desember 2014
I. Pembukaan
Masalah komunis tidak
hanya sekedar telah runtuhnya Negara Uni Soviet sebagai negara dari mana
komunis berasal dan telah berakhirnya era perang dingin. Selanjutnya muncul era
gIobalisasi dunia, tetapi bagi bangsa Indonesia lebih dari pada itu. Komunisme
telah mencatat lembaran hitam dalam perjalanan sejarah bangsa dan Negara Indonesia
dan nyata-nyata telah terbukti beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan
pemerintah Republik Indonesia. Keadaan tersebut telah memaksa rakyat Indonesia
mendesak dibubarkannya PKI dengan diperkuat dengan TAP MPRS XXV/MPRS/1966 yang
sampai ini masih dipertahankan melalui TAP MPR NO II/MPR/2003.
Pemberontakan PKI
tahun 1948 menelan banyak korban, lubang-lubang pembantaian tersebar di wilayah
Madiun dan Magetan diperuntukan para Kyai, Santri„ Pegawai Pamong Praja, Polisi,
dan rakyat yang tidak berdosa lainnya. Di Banyuwangi juga terjadi pembantaian
terhadap 62 Pemuda Islam (Anshor) di Desa Gimetuk, Kec. Cluring. (18 Oktober
1965).
Kasus saling
membantai tahun 1965 dipicu oleh sikap dan retorika PKI terhadap lawan-lawan
politiknya dengan melakukan aksi sepihak menduduki tanah-tanah pesantren dan
tanah milik negara, penghinaan terhadap Umat Islam melalui LEKRA (Lembaga
Kebudayaan Rakyat)/PKI yang selalu mengangkat cerita dalam pementasan ludruk MATINE GUSTI ALLAH, KAWINE MALAIKAT
tuntutan PKI membentuk angkatan ke-5 dengan mempersenjatai buruh dan tani serta
puncaknya pembunuhan terhadap 6 (Enam) Jenderal TNI di Lubang Buaya Jakarta,
yang membuat kemarahan rakyat. Kesemuanya itu merupakan gladi resik yang puncak
adegannya pemberontakan G.30.S/PKI yang dapat dihancurkan oleh TNI dan
masyarakat yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edi Wibowo(Komandan RPKAD).
Hancurnya PKI memang
tidak terlepas dari peranan Jenderal Soeharto, namun pada masa-masa kekuasaan
Jenderal Soeharto itu pula PKI membangun kembali kekuatannya sampai runtuhnya
kekuasaan Orde Baru dan lahirnya pemerintah reformasi. Reformasi mengedepankan
kebebasan dan keterbukaan telah berjalan seolah-olah tanpa batas, sehingga
membuka peluang untuk kembalinya (Bangkitnya) komunis di Indonesia antara lain
ditandai dengan upaya-upaya eks Tapol/Napol PKI memposisikan dirinya sebagai
korban, sedangkan dalam kenyataannya PKI adalah pelaku kudeta yang gagal
merebut kekuasaan negara untuk menggantikan Pancasila sebagai dasar negara
dengan faham marxisme-komunisme.
PKI dalam posisi
salah dan kalah, wajar apablia mereka mendapatkan sangsi dengan dibubarkannya
Partai dan fahamnya sebagai bentuk pampasan perang yang harus mereka bayar
karena dialah yang memulai peperangan. Berbeda kalau seandainya mereka dalam
posisi benar dan menang pastilah lawan-lawan politiknya dihabisi seperti di
negara Kamboja, Kuba, Korea Utara, Vietnam, Venezuela, dll.
Didasari oleh
filosofi Sudisman ketika diadili melalui Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmiluh)
dalam pledoinya "Jika saya mati
sudah tentu bukannya PKI mati bersama kematian saya, sama sekali tidak.
Walaupun PKI sekarang sudah rusak berkeping-keping saya tetap yakin, ini hanya
bersifat sementara dan dalam proses sejarah, nanti PKI akan tumbuh kembali,
sebab PKI adalah anak zaman yang dilahirkan oleh zaman". Semangat
tidak kenal menyerah memperjuangkan ideologi marxisme-komunisme inilah
melahirkan PKI wajah baru dengan topeng demokrasi, hak asasi, Iingkungan hidup,
tidak menentang agama dan lain-lain, melalui organisasi yang mengesankan
sebagai korban yakni : PAKORBA (Paguyuban Korban Orde Baru), LPKP 65 (Lembaga
Penelitian Korban Peristiwa 65), LPR KROB (Lembaga Perjuangan Rehabilitasi
Korban Rezim Orde Baru).
II. Upaya
Pembelokan Sejarah Melalui Metamorphosis.
Partai Komunis
Indonesia telah dua kali melakukan perebutan kekuasaan melalui pemberontakan
secara keji dan kejam. Jumlah korban tidak terhingga baik sipil maupun militer
namun usaha mereka telah gagal karena perlawanan TNI dan masyarakat. Untuk bisa
hidup kembali PKI merubah strategi dari cara-cara revolusioner ala Soviet dan
RRC menjadi cara-cara ekstra parlementer dengan memposisikan dirinya sebagai
korban, pemberontakan tahun 1948 di anggap provokasi Hatta, sementara tahun
1965 dituduhkan masalah intern TNI AD. Ini merupakan pembelokan sejarah dan
kebohongan yang tidak dapat di maafkan. Kalau tahun 1948 provokasi Hatta
tentunya yang menjadi korban adalah orang-orang PKI, namun kenyataan sebaliknya
yang dibantai adalah warga sipil, aparat pemerintah, aparan kepolisian, dan
orang-orang beragama khususnya umat Islam. Kalau tahun 1965 adalah masalah
intern TNI AD, siapa yang mau membubarkan kabinet gotong royong pada tanggal 1
Oktober 1965 ? Siapa yang membunuh para Jenderal di Lubang Buaya pada tanggal
yang sama ? Fakta menunjukkan di belakang peristiwa tersebut tokoh-tokoh PKI
dan Perwira yang dibina oleh Biro Khusus PKI tidakkah tahun 1948 dipimpin oleh
Muso dan Syarifuddin, sedangkan tahun 1965 dipimpin oleh DN Aidit, Nyoto,
Nyono, yang kesemuanya pada tanggal 30 September 1965 ada di Lapangan Udara
Halim Perdanakusuma dan Lubang Buaya. DN Aidit sendiri pada tanggal 1 Oktober
1965 melarikan diri ke Yogyakarta menggunakan pesawat AURI. Nyata dengan jelas
dan terang benderang bahwa PKI ada di belakang peristiwa tersebut masalahnya
mereka kalah, kalau seandainya menang pastilah Indonesia seperti Korea Utara,
Vietnam, Kamboja, Cuba, RRC, dll. Karena ambisi untuk hidup kembali, PKI
berusaha dengan segala cara angkat senjata tidak mungkin, maka ditempuhlah
cara-cara non militer. Teori revolusi di tinggalkan, mereka menempuh jalur
politik, jalur hukum, jalur budaya, dan pendidikan, jalur KKR (Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi).
III. Gerakan
Neo PKI
Bidang
Politik.
Antara lain eks PKI
dengan menunggangi fraksi PDI Perjuangan saat Sidang Umum MPR tahun 2003
menuntut agar Tap MPRS No. XXV/1966 dicabut. Namun mayoritas anggota DPR-MPR
menolak sehingga Tap MPRS tersebut masih berlaku/eksis sampai sekarang.
Bidang Hukum.
Antara lain dengan
melakukan gugatan class action kepada 4 (Empat) mantan Presiden RI dan Presiden
SBY (Agustus 2005) di PN Jakarta Pusat dengan tuntutan kepada negara agar
memberikan kompensasi kepada orang-orang PKI yang menganggap dirinya sebagai
korban dan bukan pelaku kudeta sebesar 950 juta sampai 2.5 Milyard dengan klaim
jumlah korban sebanyak 20 juta jiwa. Tuntutan tersebut ditolak oleh PN Jakarta
Pusat.
Bidang
hukum yang berhasil secara signifikan adalah Judicial
Review (JR) pasal 60 huruf g UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu. Pasal
tersebut berhasil dibatalkan sehingga orang-orang PKI bebas masuk menjadi
anggota DPR - MPR dan lain-lain.
Bidang
Non Hukum / Non Judicial.
Gagal dalam jalur
hukum, mereka menempuh jalur non hukum dengan mempersiapkan draft UU KKR oleh
Ifdal Kasim (LSM ELSAM) yang dikenal sebagai anggota diskusi Marxis di UGM.
Draft UU tersebut disampaikan kepada Presiden dan di rekomendasikan ke DPR RI
yang kemudian disahkan menjadi UU No. 27 tahun 2004. Melalui UU KKR tersebut
eks PKI berharap bisa mendapatkan pintu masuk untuk hidup kembali setelah
mereka gagal menempuh jalur hukum. Justru yang didapatkan sebaliknya UU KKR
tersebut dibatalkan oleh MK No. 011-017/PUU-1/2006 tanggal 12 Oktober 2006 dan
13 Nopember 2006.
Judicial
Review ke Mahkamah Agung.
LPKP-65 pimpinan
Bedjo Untung pecatan RPKAD mengajukan JR ke Mahkamah Agung agar Keppres 28
tahun 1975 tentang golongan C PKI di hapus dan dengan demikian eks PKI
mendapatkan kompensasi dan rehabilitasi, namun sampai akhir jabatan Presiden
SBY tidak merespon keputusan MA tersebut.
Permintaan
Maaf.
Wantimpres bidang
hukum, Albert Hasibuan, S.H menyatakan bahwa Presiden SBY akan meminta maaf
kepada PKI pada tanggal 16 Agustus 2012, namun setelah dilakukan dialog dengan
CICS pada 7 Juni 2012 di Hotel Bidakara Surabaya hampir semua peserta dialog
meminta agar Presiden SBY tidak perlu meminta maaf pada pemberontak PKI. Kalau
dipaksakan rakyat akan melawan, bagaimana mungkin negara harus meminta maaf
kepada pemberontak ? Tentu pemberontak yang lain akan menuntut hal yang sama.
LPKP-65 pimpinan Bedjo Untung juga mendesak kepada Presiden Jokowi agar pada 10
Desember 2014 saat hari HAM Internasional menyatakan permintaan maaf kepada
PKI, dalam kenyataannya tanggal tersebut Presiden keluar negeri dan tidak
menyatakan minta maaf kepada pemberontak sebagaimana 6 Presiden sebelumnya.
Sementara Presiden Gus Dur sebatas menyampaikan wacana sehingga tidak dapat
dijadikan landasan hukum.
Gagal jalur hukum dan
non hukum, mereka memanfaatkan Komnas HAM sebagai Kuda Troya dengan menempatkan
Ifdal Kasim sebagai Ketua Komnas HAM sampai sekarang ini. Ifdal Kasim setelah
terpilih sebagai ketua langsung membentuk Tim Ad Hoc '65 dengan maksud
memberikan kesempatan kepada eks PKI untuk melakukan gugatan atas peristiwa 1965
yang katanya mereka sebagai korban. Terbentuknya Tim Ad Hoc tersebut memicu
perlawanan dari berbagai LSM anti komunis yang menuntut agar Tim Ad Hoc 65
dibubarkan karena tendensius untuk kepentingan eks PKI dalam rangka
kebangkitannya. Karena terus menerus mendapat perlawanan Komnas HAM tiarap untuk
melanjutkan pembentukan Tim Ad Hoc tersebut, namun tidak diduga pada Maret 2012
Komnas HAM mengeluarkan pernyataan bahwa yang bertanggung jawab terhadap
peristiwa 1965 adalah Jenderal Soeharto selaku Pangkostrad.
Pernyataan tersebut
menimbulkan kontraversi karena nantinya pihak yang dituntut telah meninggal
dunia sehingga negara lah yang harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
terkait dengan peristiwa 1965 terutama yang berhubungan dengan kompensasi dan
rehabilitasi.
Melalui
Pendidikan. Generasi
muda bisa memahami secara benar dan proporsional atas berbagai pemberontakan
PKI baik tahun 1948 dan 1965 sehingga melalui pendidikan inilah penanaman
sejarah dilakukan secara formal. Eks PKI menyadari betul bahwa stigma PKI
sebagai pemberontak sangat merugikan mereka sehingga secara diam-diam mereka
melakukan infiltrasi terhadap kurikulum berbasis kompetensi tahun 2004 tanpa
menyebutkan PKI sebagai pemberontak tahun 1948 dan 1965. Dengan cepat kelompok
masyarakat anti komunis melakukan pendekatan kepada Mendiknas agar kurikulum
sejarah yang terkait dengan pemberontakan PKI dimasukkan kembali dalam
kurikulum 2004. Bersyukur DR. Alwie Shihab segera mengambil keputusan dengan
meluruskan kembali kurikulum sejarah melalui surat Mendiknas No. 7 tahun 2005.
IV. Tuntutan
LPR-KROB.
Lembaga ini juga
sebagai wadah eks PKI dipimpin oleh Semaun Utomo. Tuntutan mereka hampir sama
dengan tuntutan Tapol/Napol yang lain, namun lembaga ini lebih specifik
advokasi terdaftar dalam akte notaries H. Rizal Sudarmadi, S.H tanggal 21
Oktober 2002 No. 51, diantaranya mengajukan tuntutan kepada Presiden Indonesia
alalui suratnya tanggal 17 Desember 20114, Nomor 47/sek/DPP.P/X.11/2004, adapun
isi tuntutan adalah :
a. Meminta kepada Presiden agar memberikan
rehabilitasi umum kepada eks PKI. Tuntutan tersebut didasarkan atas :
1. Fatwa Ketua MA tanggal 12 Juni 2003 No.
KMA/403/VI/2003 yang menyatakan agar memberikan penyelesaian dan kepastian
hukum yang dapat memulihkan status dan harkat martabat sebagai warga negara
yang sama.
2. KOMNAS HAM tanggal 23 Agustus 2003, No
147/TUA/VIII/2003, tentang Rehabilitasi Korban G 30S PKI/'65, yang menyatakan
harus segera menghapus seluruh peraturan yang diskriminatif.
3. Surat DPR RI tanggal 20 Juli 2003 No.
K.S.02/37.47/DPRRI yang memberikan pertimbangan politik untuk rehabilitasi.
b. Memulihkan dan mengembalikan harkat,
martabat dan kehormatan pemohon sebagai WNI.
c. Menyatakan eks PKI tidak salah, mereka
adalah korban dan hanya WNI yang dikorbankan dalam peristiwa G 30 S PKI /1965.
V. Konspirasi
Pemakaman Letkol Heru Atmojo.
Heru Admojo selaku Perwira
TNI AU ketika masih aktif pangkat terakhir adalah Letkol Udara. Mereka terlibat
langsung pemberontakan G.30.S/PKI, sebagaimana pengumuman di RRI hari Jumat
tanggal 1 Oktober 1965 jam 14.00 WIB oleh Letkol Untung. la diposisikan sebagai
Wakil Ketua Dewan Revolusi, sedangkan ketuanya adalah Letkol Untung dari
Cakrabirawa yang didampingi oleh Bridjen Saparjo.
Nyata dan jelas bahwa
Dewan Revolusi melakukan makar terhadap Pemerintahan dengan membubarkan Kabinet
gotong royong yang diganti dengan Dewan Revolusi serta menggantikan Pancasila
sebagai dasar negara dengan faham komunisme.
Pemberontakan
tersebut telah menelan korban 6 Jenderal TNI yang tidak berdosa sebagai ulah
para pemberontak PKI dan oknum Perwira TNI yang sejak lama dibina oleh Biro
khusus PKI diantaranya : Letkol Untung, Brigjen Saparjo, Letkol Udara Heru
Admojo.
Pemberontakan PKI 1
Oktober '65 yang disebut dengan G.30.S/PKI gagal total karena dapat dihancurkan
oleh rakyat dan akibatnya mereka yang terlibat harus mempertanggungjawabkan
secara hukum melalui peradilan militer yang dinamakan Mahkamah Militer Luar
Biasa (MAHMILUB) .
Letkol Untung, Brigjen
Saparjo terbukti secara meyakinkan melakukan Kudeta (Makar) terhadap pemerintahan
yang sah, oleh MAHMILUB dia dijatuhl hukuman mati. Berbeda dengan Letkol Udara,
Heru Admojo oleh MAHMILUB ia diganjar hanya dipecat dari TNI dan dihukum seumur
hidup namun yang bersangkutan dapat premisi menjadi 15 tahun penjara. Dengan
dipecatnya mereka dari TNI semua gelar atau bintang yang disandang otomatis
gugur dengan sendirinya.
Selepas dari tahanan
Heru Admojo bergabung dengan keluarganya dan juga bergabung dengan sesama eks
PKI dalam wadah organisasi Paguyuban Korban Orde Baru (PAKORBA), tanggal 29
Januari 2011 mereka meninggal dan dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta. Kasus
tersebut diatas memunculkan berbagai tanggapan yang kontraversi, ada yang
berpendapat layak yang bersangkutan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan karena
menyandang bintang Gerilya, namun dipihak lain terutama Yayasan Pusat Kajian
Komunitas Indonesia pimpinan Drs. Arukat Djaswadi berbeda pendapat,
dimakamkannya Heru Admojo di TMP Kalibata merupakan kekeliruan besar, mereka
tidak layak disebut Pahlawan dan tidak layak pula dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan.
Yayasan
Pusat Kajian Komunitas Indonesia menulis surat kepada
Panglima TNI Laksamana Agus Hartono pada tanggal 24 Maret 2011, dengan nomor
011- B/CICS/III/2011 yang maksudnya memohon kepada Panglima untuk meluruskan
dengan memindahkan jenazah Heru Admojo ke Taman Pemakaman Umum.
Apabila pemerintah
tidak memperhatikan masyarakat akan memberikan stighma kalau pimpinan TNI
sekarang tidak lagi menghormati jasa-jasa para Pahlawan Revolusi yang telah
gugur membela bangsa dan negara. Untuk menghindari hal tersebut perlu pelurusan
sejarah diantaranya dengan menempatkan secara proporsional, siapa Pahlawan dan
siapa pengkhianat Negara.
Atas dasar surat
Yayasan Pusat Kajian Komunitas Indonesia, Markas besar TNI memberikan jawaban
pada tanggal 8 April 2011 dengan nomor B/322/IV/2011/SPRES. Isi surat tersebut
adalah berdasarkan surat Ketua Yayasan Pusat Kajian Komunitas Indonesia nomor
011-B/CICS/III/2011 tanggal 24 Maret 2011 dengan ini disampaikan bahwa kerangka
jenazah Almarhum Bapak Heru Admojo pada tanggal 26 Maret 2011 atas persetujuan
pihak keluarga, telah dipindahkan dari Taman Makam Pahlawan Nasional Utama
Kalibata - Jakarta ke TPU Jember - Jawa Timur. Surat ditandatangani oleh Aspers
Panglima TNI, S.IP. Marsekal Muda TNI .
Dari pengamatan
dilapangan memang benar kerangka Heru Admojo sudah dibongkar dan dipindahkan,
namun bukan dimakamkan di Jember tetapi di Taman Makam Umum Segok - Bangil
bersebelahan dengan makam Ibunya, Supatmi. Sejarahwan LIPI Asvi Warman Adam
menilai pembongkaran makam dengan alasan keterlibatan G.30 S/PKI merupakan kara
yang menyakitkan "Jelas menyakitkan
jika seorang dikeluarkan padahal dia pemegang bintang Gerilya"
demikian Ia berbincang dengan VIV Anews selasa 25 April 2011 . Menyikapi
pembongkaran kerangka Heru Admojo dari TMP Kalibata sah-sah saja seorang
berbeda pendapat, namun apabila seseorang sudah dipecat dari keanggotaan TNI
lebih-lebih dengan hukuman 15 tahun pastilah semua atribut gugur dengan sendirinya
termasuk bintang Gerilyanya. Sebab kalau tidak akan terjadi kebingungan
siapakah penjahat, penghianat Bangsa dan Negara, dan siapakah Pahlawan yang
semestinya harus dimakamkan di TMP atau bukan. Nampaknya ada skenario lain
untuk kepentingan politik dengan dimakamkannya Heru Admojo di Taman Makam
Pahlawan, mereka nyata-nyata pemberontak PKI, kalaulah ia tetap dipertahankan
di TMP akan berdampak politis, Heru Admojo akhirnya di akui sebagai Pahlawan
bukan sebaliknya. Jelas ini sebuah skenario yang sudah dipersiapkan oleh eks
PKI dan sekutu-sekutunya untuk memutihkan sejarah hitam PKI.
VI. Penutup.
Atas dasar kajian
tersebut diatas, diharapkan :
1. Pemerintah agar tetap mewujudkan
keutuhan bangsa dan kerukunan nasional dalam rangka konsisten melaksanakan Pancasila,
UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, TAP MPRS XXV/MPRS/1966 dan UU No. 27 tahun
1999 tentang perubahan KUHP yang berhubungan dengan kejahatan keamanan negara
pasal 107 a.
2. Mendesak kepada Pemerintah Indonesia
yakni Presiden Joko Widodo agar berhati-hati dalam mengambil kebijakan terutama
yang dapat menimbulkan konflik baru bersumber dari perbedaan ideologi terutama
komimisme dan Pancasila dengan tidak meminta maaf PKI bahkan sebaliknya PKI
harus minta maaf kepada bangsa Indonesia, karena telah dua kali melakukan
kejahatan terhadap bangsa dan negara tahun 1948 dan 1965.
3. Mendesak kepada Pemerintah agar tidak
membuka celah sedikitpun bagi tumbuh kembangnya PKI dan faham komunis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar